Judul Buku :
EDENSOR
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : PT.Bentang Pustaka
Tahun : 2007
Tebal Novel : xii + 290 halaman
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : PT.Bentang Pustaka
Tahun : 2007
Tebal Novel : xii + 290 halaman
Ukuran Buku : 20,5 cm x
14 cm
Harga :
Rp. 44.500,-
Edisi :
Pertama
Kategori :
Petualangan (nonfiksi)
ISBN : 978-979-1227-02-5
2.
Kepengarangan
Latar belakang
Pengarang
Andrea
Hirata adalah penulis muda yang tidak memiliki latar belakang jusnalistik
tetapi memiliki kemampuan untuk menguak berbagai realita kehidupan dan
menyarikannya menjadi sebuah tulisan yang apik dan mampu menggugah ketersadaran
nurani setiap pembacanya. Andrea Hirata mendapat beasiswa Uni Eropa untuk
studi master of science di Université de Paris,Sorbonne,Prancis,dan Sheffield
Hallam University, United Kingdom. Edensor adalah novel ketiganya setelah
novel-novel best seller Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
Buku ini diterbitkan pertama kali pada Mei 2007 oleh PT. Bentang Pustaka, telah
menjadi best seller Indonesia dan terdapat hampir diseluruh toko-toko buku di
Indonesia.
Edensor
adalah sebuah novel yang dapat mengajak para pembacanya untuk
berimajinasi. Pembaca akan dibawa ke dalam petualangan mereka menyusuri
Eropa dengan berbagai pengalaman yang mencengangkan, mencekam, membuat
terbahak, sekaligus berurai air mata.. Penulisannya diinspirasikan oleh perjalanan
hidup Andrea Hirata sendiri.
3. Sinopsis
Novel
ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini bercerita tentang perjalan
hidup Andrea dan Arai, saudara sekaligus teman seperjalanannya yang telah
melalui banyak episode kehidupan, suka maupun duka.
Tawaran beasiswa dari Uni
Eropa telah menjadi sebuah jembatan keberuntungan (magical bridge) yang
menghantar mereka pada penjelajahan panjang di tanah-tanah mimpi, menjadi
sebuah kunci yang telah membuka kotak pandora yang berisi mimpi-mimpi masa
kecil mereka. Sebuah kerinduan untuk berbuat sesuatu bagi tanah kelahiran,
memberikan kebanggaan bagi orangtua dan menyelesaikan mimpi-mimpi para sehabat
yang telah terenggut oleh keterbatasan dan jerat kemelaratan.
Universitas Sorbonne
Perancis, telah menghantar mereka pada pertemuan dan persahabatan dengan
mahasiwa dari berbagai belahan dunia dengan beragam latar belakang. Kehidupan
bangsa eropa yang terkenal intelektual, dinamis dan efisien telah menunjukkan
pada berbagai realita betapa rendahnya kualitas serta sistem pendidikan bangsa
Indonesia. Hanya semangat dan tekad yang kuat yang mampu menghantar mereka pada
sebuah keberanian untuk menjadi bagian dari sistem pendidikan yang modern.
Kesenjangan tingkat pemahaman dan pengetahuan mengharuskan dua sobat karib ini
berjuang untuk menyelesaikan pendidikan mereka.
Keindahan benua eropa dan
gemerlapnya dunia malam kota Paris memberikan daya tarik bagi siapapun yang
melihatnya. Namun, tradisi dan etika back packer Kanada sangat menarik
perhatian Andrea bahkan lebih menarik dibadingkan Katya. Mahasiswi jerman yang
telah menolak cinta banyak pemuda dan memilih Andrea menjadi kekasihnya.
Meskipun pada akhirnya perbedaan makna tentang mencintai telah membawa mereka
kembali pada jalinan pertemanan. Kerinduan Andrea pada A Ling, perempuan masa
kecil yang sangat dicintainya telah menguakkan kembali ingatannya tentang
Edensor. Sebuah desa khayalan pada sebuah novel pemberian A Ling, karya Herriot
yang berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara.
A
Ling menandai cerita tentang keindahan Desa Edensor dalam novel itu, kubaca
bagian itu berulang-ulang. Desa khayalan itu seakan membuka jalan rahasia dalam
kepalaku, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar dalam hidupku, untuk
menemukan A Ling, untuk menemukan diriku sendiri. (Edensor, hal 162)
Hamparan
dataran hijau, bunga daffodil dan semerbak aroma rerumputan telah membawa
andrea bekelana ke setiap sudut desa. Desa khayalan yang telah membuka jalan
rahasia dalam kepala Andrea, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar untuk
menemukan A Ling, untuk menemukan cinta dan diri sejatinya. Andrea dan Arai
berencana untuk melakukan perjalanan keliling benua Eropa mengikuti tradisi
para pengelanan back packerKanada. Rencana perjalanan panjang ini
mendapat respon yang serius dari para sahabat, yang akhirnya dijadikan sebagai
ajang pertaruhan untuk mengukur keberanian untuk menahklukkan tantangan.
Penjelajahan panjang menjelajahi benua eropa dengan bermodal semangat dan
keberanian.
Perjalanan dimulai dari kota Paris Perancis
melintasi benua Eropa dan berakhir di Spanyol. Pencarian Andrea akan cinta masa
kecil telah membawa mereka melintasi rute perjalanan yang panjang melintasi
benua Eropa hingga Tunisia, Zaire dan Casablanca di benua Afrika. Rasa lapar,
kelelahan serta ancaman kematian karena kedinginan tidak menyurutkan semangat
dan keberanian Andrea untuk mencari keberadaan tentang A Ling yang
kini menjadi semakin terang.
Kota demi kota menghadirkan beragam realita yang semakin
memperjelas makna pencarian Andrea. Sekuat apapun upaya untuk menemukan sesuatu,
dan pada titik akhir upaya tersebut masih belum berhasil sesungguhnya kita
sedang dihadapkan pada berbagai realita tentang diri kita. Pencarian cinta pada
sosok perempuan bernama A Ling telah memberikan pembelajaran tentang makna
cinta sejatinya, yaitu diri sendiri. Keberanian untuk bermimpi telah menghantar
kita pada satu realita yang mengajarkan kita arti kebahagiaan yang
sesungguhnya.
4.KUTIPAN
“Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit
kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin
menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku
hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan
kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain sepeerti benturan molekul
uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang,
terurai, dan berpencar kea rah yang mengejutkan.” Hal.42
“Aku
bergetar menyaksikan nun di bawah sana,rumah-rumah penduduk berselang-seling di
antara jerejak anggur yang terlantar dan jalan setapak berkelok-kelok. Aku
terpana dilanda dejavu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal
denga gerbang desa berukir ayam jantn itu, dengan bangku-bangku batu itu,
dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria dip agar peternakan itu. Aku seakan
menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama
hidup dalam kalbuku. Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar.
Ribaun fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun,
tiba-tiba tersintesa persis di depan mataku,indah tak terperi. Kepada seorang
ibu yang lewat kubertanya,”Ibu dapatkah memberi tahuku
nama tempat ini?”. Ia menatapku
lembut,lalu menjawab. “Sure lof,
it’s Edensor…”Hal.287